Sabtu, 27 Juni 2009

Peltihan Jurnalistik LPM STAIN Pontianak

Assalamualikum Wr. Wb
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak akan menyelenggarakan pelatihan jurnalistik dasar. Kami bekerja sama dengan beberapa media di Pontianak. Diantaranya adalah harian Pontianak Post, Borneo Tribune, Tribun Pontianak, Equator dan Radio Mujahidin FM. Kami juga akan akan menghadirkan pemateri yang berkompeten di bidangnya. Sesuai dengan rencana awal, pemateri yang akan kami daulat dalam gawe kami kali ini adalah, Alexander Mering yang akan menyampaikan materi “Penulisan Fiksi”. Alexander Mering adalah redaktur harian Borneo Tribune. Pimpinan redaksi borneo Tribune Nuriskandar, berbicara penulisan “Narative Reporting dan Feature”. “Kait Menulis Opini Aritek di Koran”, akan disampaikan oleh Uti Konsen. Uti Konsen adalah penulis tetap halaman opini jum’at di harian Pontianak Post. Selanjutnya, Jessica Wuisang (Maya) akan berbicara mengenai “Teknik Fotografi”. Jessica Wuisang (Maya) saat ini adalah fotografer Antara biro Kalimantan Barat. Pemateri selanjutnya adalah Muslim Minhad Toeng, dari harian Pontianak Post akanberbagi ilmu mengenai “Teknik Pembuatan ka”rikatur”. Terakhir, adalah praktisi media harian Equator, Rosadi berbicara mengenai “Straight News”.
Pelatihan itu akan diselenggarakan 3 hari 10, 11 dan 12 Juli 2009 mendatang, di ruang Nadwah, gedung Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. Kami mengundang seluruh kawan-kawan mahasiswa, remaja masjid Pontianak kota, kawan-kawan mahasiswa yang tergabung di Lembaga Pers Kampus, kawan-kawan di organisasi kampus di Potianak, dan kami juga mengundang siapa saja yang mau mengikuti pelatihan ini.
Pelatihan ini kami desai yang pada akhir pertemuan nanti akan ada kesepakatan antara panitia dan peserta untuk mengadakan pelatihan jurnalistik lanjutan “Desain Grafis”. Pada pelatihan lanjutan itu, beberapamatrei yang kami rancang nantinya adalah, photo shope dan page maker.
Kontribusi untuk kegiatan selama 3 hari ini adalah Rp. 20.000. Peserta akan mendapatkan buku tulis dan pulpen, sarapan, makan siang, dan sertifikat.
Buruan Daftar!!!
Jadwal

Hari Tanggal Waktu Acara Pemateri Penanggung Jawab
Jumat, 10 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi, - Panitia acara
07.30-08.30 Pembukaan - Panitia acara
08.30-10.30 Straight news Rosai, S. Sos. I
Zainuddin
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Teknik fotografi Jessica Wuisang Ari Yunaldi
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia


Sabtu, 11 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi - Panitia acara
08.30-10.30 Kiat menulis opini dan artikel di Koran Uti Konsen Erika Sulistia. M
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Penulisan fiksi Alexander Mering Ambaryani
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia
Minggu, 12 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi - Panitia acara
08.30-10.30 Narrative reporting dan feature Nuriskandar Nurkholissotin
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Teknik pembuatan karikatur Muslim Minhad / Toeng Herianto
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia
14.30-15.00 Merumuskan kesepakatan pelatihan lanjutan dan penutupan - -

Selasa, 02 Juni 2009

Rasa Yang Tertahan

Oleh : Ambaryani

Selasa 12 April 2009. Suasana ruang redaksi WARTA STAIN riuh. Suara 13 pengurus dan 10 anggota baru Lembaga Pers Mahasiswa membuat suasana sedikit gaduh. 2 orang pengurus tak hadir saat itu. 23 orang berkumpul dalam satu ruangan yang hanya berukuran sekitar 4x4 meter.
Posisinya berhimpit-himpitan. Jarak antara satu orang dengan yang lainnya hanya satu hingga 2 jengkal saja. Formasinya tak beraturan. Aku dan teman-temanku mengambil posisi sesuai dengan kondisi ruangan. Ada yang duduk di balik meja, ada yang duduk bersingungan, ada yangm membelakangi, bahkan ada yang duduk tepat di bibir pintu.
Kepalaku berdenyut-denyut. Pusing melihat kondisi yang begitu sesak. Tapi, semuanya menjadi baik-baik saja saat menyaksikan rona bahagia dari wajah teman-temanku. Semuanya memegang kado masing-masing.
Hari itu, kami tukar kado dalam rangka ulang tahun LPM yang ke 4. Semua orang yang tergabung di LPM harus membawa kado yang harganya tak boleh lebih Rp. 10.000.
Semua anggota baru sudah kumpul. Hanya saja beberapa orang pengurus belum ada ditempat.
”Ka, ayok lah! Ninda dah tak sabar lagi ni nak tukar kado”, kata Ninda tak sabar menunggu acar intinya.
”Belum lok nong...bang kawan-kawan pengurus yang lain belum kumpol semue”, kata ketua umum LPM Hardianti. ”Dah lah, kite bukak duluk jak mbak ye?”, kata Hardianti sambil menoleh ke arahku dan ku amini dengan anggukan kepala. ”Bukak nong!”, kata Hardianti sambil melihat ke arah sekertaris umum LPM Ari Yunaldi yang sedang memegang hand phone Nokia tipe 1111, dengan kombinasi warna putih dan biru dongker.
”Ya Bunda”, kata Ari singkat lalu ia membuka forum itu.
Tak lama kemudian, suasana sedikit tenang. Hardianti memberikan kata pengantarnya. Dia mengugkapkan jika ini adalah sejarah pertama, memperingati ulang tahun LPM dengan tukar kado. Semua orang yang ada di dalam ruangan tertawa disertai tepuk tangan. Suasana riuh kembali.
Lalu, Hardianti mempersialhkan kepada kami semua untuk berbicara apa saja tentang apa yang dirasakan. Katanya, saat itu adalah sesi curhat.
Sabri yang duduk di sudut kanan angkat bicara. Ia mengaku jika ini adalah pertama kalinya ia akan memberikan dan menerima kado. Sepanjang usianya, ia belum pernah memberi atau menerima kado. Ada rasa lucu di sana. Sejak lahir hingga hampir seperempat abat belum pernah menerima hadiah sekalipun. Kawan-kawan menyambutnya dengan tawa.
Menyusul Septian berikutnya. Dia mengatakan, jika ia merasa bangga ada di tengah-tengah keluarga besar LPM. Dia mengatakan jika ia merasa bangga dengan perembangan LPM sejak setahun terakhir. Dan terakhir, dia mengaku jika ia merasa bersalah karena ia tidak maksiaml selama setahun terakhir menjabat sekretaris devisi Pengembangan dan Pemberdayaan Anggota (P2A).
Selanjutnya giliranku. Sebelum aku berbicara, suaraku tertahan sejenak. Seperti ada yang menahan suaraku. Aku sedih ingin mengatakan hal yang sebenarnya, jika aku benar-benar menyayangi kebersamaan ini. Begitu berat jika mengingat, tak lama lagi kami akan mengakhiri masa tugas kami. Tugas yang begitu membuat kami merasa nyaman berada di dalamnya.
Aku merasa bersalah karena selama ini begitu sering berbuat kesalahan. Saat itu aku mengatakan, jika aku merasa bersalah telah menjadi tim yang begitu cerewet. Aku juga mengugkapkan rasa terimakasihku atas pengertian teman-temanku atas kebiasaan burukku itu.
Butiran bening tertahan di pelupuk mataku. Mendadak aku sedih dan ingin menangis.
Hardianti yang ada di sampingku menepuk-nepuk punggungku dan mencegahku agar butiran bening itu tak tumpah saat itu. Aku mencoba menahannya, tapi kurasakan air matak sudah menetes dengan sendirinya. Aku segera mengusapnya.
Teman-temanku meledekku. ”Kalau Ambar tak ngomel, bukan Ambar namanya”, kata Ica yang duduk di depan pintu.
Setelah aku yang mengungkapkan isi hatiku, Ica berikutnya. ”Saye benar-benar cinte dengan LPM. Saye tak merase diikat di LPM, tapi LPM benar-benar membuat saye nyaman dan merase harus kembali kalau saye jauh dari LPM. LPM bukan rumah pertame saye, tapi I Love You LPM”. Suara Ica terdengar parau. Matanya sudah berkaca-kaca. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama denganku.
“Saye, mauk ucapkan ma’kaseh ke kawan-kawanyang banyak Bantu saye melaksanakan program-program saye, dalam hal perikrutan dan pengukuhan anggota. Awalnye, dulu saye same Ari dah ade ngomong-ngmong setelah tahun ini, akan megundurkan diri dari LPM. Tapi kayaknye, itu akan dipertimbangkan lagi”. Heri mengkahiri pembicaraanya dengan tawa kecilnya.
Seketika itu juga, rasa haru menyelimuti ruang redaksi. Rasa sedih yang tertahan, dan tak bias terungkap saat itu.
“Ninda ni, cinte…benar dengan LPM. Suke Ninda bergabong di LPM ni, besukor benar”, kata Ninda angoota baru kami. ”Tapi, Ninda mauk bilang, bile tukar kadonye ni? Ninda dah tak sabar dah”.
Saat itu juga hampir semua orang yang ada di ruangan itu tertawa dibuatnya. Setalah itu, kami melangsungkan acar tukar kado kami. Semua orang membuka kado yang didapatkannya dengan rasa penasaran dan suka cita.

Dag Dug

Oleh : Ambaryani

Dag, dug. Jantungku sempat berdetak kencang saat melangkahkan kakiku menuju suatu tempat. Ada kekhawatiran dalam hatiku. Pukul 19.30 WIB, Sabtu 9 Mei 2009 aku dan seorang teman kosku Eka meluncur ke sebuah tempat yang selalu ramai jika malam Minggu tiba. Korem, begitu orang-orang menyebut tempat itu. Aku sudah lama tahu keberadaan tempat itu. Bahkan sejak delapan setengah tahun yang lalu. Aku juga sudah beberapa kali ke sana. Tapi bukan pada malam hari.
Mungkin, sebagian orang akan menertawaiku, saat aku menceritakan hal ini. Akan tetapi memang benar daanya. Inilah pengalaman pertamaku pergi ke Korem, terlebih momen malam Minggu. Kuno, katrok, udik, mungkin itu yang akan orang katakana padaku.
Selama ini aku belum pernah menginjakkan kaki ke tempat itu, karena memang aku kurang suka dengan keramaian. Kepalaku akan pusing jika berada di tengah keramaian. Bingung apa yang akan dilakukan. Selain itu, aku terkukukung oleh strotipeku dan pola pikirku yang begitu konyol.
Aku teraliniasi oleh ikiranku sendiri. Aku takut dengan pandangan orang. Sebagian orang akan mengangap tabu jika wanita berjilbab ada di tengah keramaian. Terlebih Korem sering diidentikkan sebagai tempat untuk bercinta (berpacaran), bagi banyak kalangan. Bahkan seseorang akan berpikiran negatif jika mendengar seorang gadis yang sering keluyuran tidak karuan di malam hari, terlebih di korem.
Kebanyakan orang sekitar akan berpandangan ”miring”. Bahkan anak-anak muda atau siapapun yang ada di sana sering dikonotasikan sebagai wanita atau laki-laki ”nakal”. Kali ini, aku ingin membuktikan sendiri bagaimana kondisinya. Apa saja yang orang lakukan di sana. Aku tak lagi memikirkan apa pandangan orang terhadap diriku.
Malma itu, akhirnya aku sampai di sana. Aku dan temanku Eka, pergi ke tempat itu dengan satu tujuan. Ingin mengetahui seperti apa pola pergaulan anak remaja. Lingkungan yang dipilih remaja. Aku ingin observasi perilaku remaja yang punya kecendrungan tidak betah di rumah.
”Mbar nanti jangan tingalkan aku ya?”, kata Eka yang merasa khawatir malam itu.
”Iya”, jawabku singkat.
Begitu sampai di tempat tujuan, kepalaku mulai pusing. Tempat itu padat. Manusia lalu lalang tak karuan. Kendaraan roa dua tersusun rapi di tepi-tepi jalan raya. Prit-prit...suara peluit petugas parkir mengarahkan setiap orang yang datang untuk mengarahkan ke tempat parkir yang di maksudnya. Penjual jajanan dengan gerobak pun tak kalah banyaknya.
Aku tengok kanan tengok kiri. Pandanganku tertuju pada deretan topi yang disusun rapi. Kukira itu adalah tempat temanku berjualan. Menurut ceritanya, setiap malam Minggu dia berjulan di Korem. Tapi setelah ku perhatikan, penjulanya bukan temanku.
Aku dan Eka langsung melihat penjual-penjual lain. Ada yang menjual sandal, sepatu mainan anak-anak, baju kaos, yang di hamparkan begitu saja di atas tikar plastik. Ada juga beberapa permainan anak-anak. Komedi putar, bebek engkol, ada juga pengunjung yang nampak asik menungangi kuda malam itu.
Hampir di sepanjang jalan menyusuri tempat itu, Eka tak melepaskan tanganku. ”Mbar, jangan tinggalkan aku”.
”Iya...nyantai aja. Jangan bawa muka anehnya. Walaupun kita sebenarnya aneh dengan tempat ini”, kataku.
”Aku takut kau Mbar”.
”Ok, tenang aja. Kalau ada orang mau macem-macem, kita teriak. Banyak orang be di sini”.
“iya ya? Kita ke arah laut yuk!”, Eka mengajakku ke tepi sungai Kapuas. Aku mengikutinya.
Di tempat itu jauh lebih lengang. Walaupun disepanjang sungai di penuhi pasangan muda mudi yang sedang berdua-duaan. Tapi kondisinya tak seramai di bagian depan. Hanya saja, saat berjalan menuju sana, butuh perjuangan. Padat bukan main.
Di beberapa sudut jalan, terdapat bandar judi. Entah apa nama permainannya. Yang biasa ku dengar adalah domino, kolok-kolok, atau apalah namanya aku tak bnayak tahu tentang hal itu. Selama ini aku hanya tahu beberapa penyebutannya saja. Tapi tak tahu seperti apa jenis permainannya. Yang ku tahu pasti, orang-orang yang menyukai permainan itu akan menggunakan uang sebagia taruhannya. Sehingga keseluruhan permainan itu diberi nama judi.
Aku sempat mengamati permainan itu dari jarak jauh. Aku tak bisa mendekat, karena begitu banyak orang yang ada disekitarnya. Semua orang yang berada disekitarnya laki-laki. Ada satu bandar yang mengendalikan permainan itu. Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang duduk di sisi kiri bandar. Ia nampak mencermati jalannya permainan itu. Hanya dia perempuan satu-satunya yang masuk dalam lingkaran orang-orang yang berpartisipasi dalam permainan itu.
Aku mengingalkan kumpulan orang itu. Lalu menajutkan perjalanan menuju arah sungai. Aku prihatin dengan kondisi tempat itu. Tempat itu begitu digemari orang. Orang-orang berbondong-bondong untuk melepas lelah di kawasan itu. Tapi kondisi sungai Kapuas yang kemuidian menjadi daya tarik tersendiri tempat itu, kotor dan tidak terawat.
Di bibir sungai yang dibatasi semen, banyak sampah. Bahkan jika pengunjung duduk di tepi sungai, sampah itu berada di jung kaki. Jarak antara satu pasangan muda-mudi dengan pasangan yang lainya hanya 1 atau ½ meter saja. Mereka duduk, berbincang-bincang.
Langkah kami terhenti di sana. 10 menit mekudian, kami berbalik arah. Aku dan Eka memutuska pulang. Lagi-lagi, perjalanan menuju arah jalan, begitu padat. Aku jadi ternginag betapa sulitnya warga yang berdesak-desakan demi mendaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pemerintah berikan pada warga dengan kemampang menengah ke bawah. Melelahkan.

Rabu, 06 Mei 2009

Di Penghujung Kesempatan

Oleh : Ambaryani

Kamis 30 April 2008. Aku dan teman-temanku kembali memasarkan WARTA STAIN. Usai kuliah, teman-temanku berkumpul di ruang redaksi WARTA. WARTA harus dilipat dan lain sebagainya, sebelum akhirnya sampai di tangan pembaca. Kami melakukannya bersama-sama. Manual, tak ada dibantu mesin.
Abah Press, hanya bisa cetak saja. Tidak dengan melipat. Mesin cetak Abah Press, kecil. Bahkan tak bisa untuk cetak dengan ukuran kertas besar A3. Hanya bisa kertas folio. Di Abah Press lah selama ini WARTA melaui proses cetak.
Teman-temanku menyepakati WARTA kali ini adalah WARTA edisi bulanan. Kami menyepakatinya. Halaman lebih tebal. 32 halaman. Liputan lebih panjang. Ada beberapa kolom khusus yang kami munculkan hanya pada edisi bulanan. Kolom riset misalnya. Tapi kedepan, kolom riset akan menjadi kolom mingguan.
Proses peliputan, pengetikan berita, editing, layout berlangsung 2 minggu. Prosesnya agak sulit. Terlebih saat hendak riset berlangsung. Teman-temanku kualahan. Dosen-dosen yang hendak di konfirmasi sedang sibuk. Saat itu dosen-dosen STAIN sedang sertifikasi. Bahkan kolom opini umum yang harusnya diisi oleh dosen pun kosong. Dosen tak sempat dan benar-benar sibuk saat itu. Tapi alhamdulillah, semuanya bisa kami tangani.
Ditengah-tengah proses pengeditan dan layout, Dian Kartika Sari, pimpinan redaksi dan Hardianti ketua umum Lembaga Pers Mahasiswa memberitahukan hal yang sangat mengejutkan.
”WARTA ni, edisi terakhir masa pengurusan kite mbak”, kata mereka berdua.
Aku terdiam saat mendengarnya. Tiba-tiba aku merasa akan ada sesuatu yang akan hilang.
”Benarlah ka ni edisi terakhir kepengurusan kite?”.
”Ye lah. Kite kan nak mubes bentar lagik”, kata Dian.
Aku tak berkata apa-apa.
Semua proses selesai. Walaupun ada beberapa yang terlewatkan. Kami lupa mencantumkan pemberitahuan kepada pembaca jika WARTA kali ini adalah WARTA terakhir periode kepungurusan Hardianti dan kawan-kawan.
Siang itu aku dan Marisa yang mengurus pembuatan plat dan ke percetakan (Abah Press).
Esoknya, semua teaman-teman harus kembali ke lapagan. Bukan untuk peliputan. Melainkan untuk penjualan WARTA. Teman-temanku nampak bersemangat menawarkan WARTA di hampir seluruh sudut kampus. Tak terkecuali aku.
”Mbar, siape yang pegang WARTA hari ni? Kalau nak ambek banyak berape harge?”, tanya Bang Taqin, asisten Pembantu Ketua III.
”Ambar ade pegang bang. Ngape? Harge tetaplah. Untuk dosen 2000, mahasiswa 1500”, kataku.
Bang Taqin menawar harganya. Dia mau ambil 10 ex. Akhirnya setelah bernegoisasi, aku menyepakati WARTA di jual dengan haraga 1500 kepadanya dengan jumlah 10 ex yang akan dibeli.
Awlanya, aku heran. Mengapa tiba-tiba, Bang Khairu Mutaqin memesan WARTA begitu banyak. Setelah bertemu dengannya di Cairu, baru aku tahu apa tujuannya membeli WARTA 10 ex sekaligus.
”Ni, kasi MPM 1, BEM 1. Yang penting ni udah ku bayar”, kata bang Taqin.
Aku mengiyakan permintaanya.
Sehari kemudian setelah proses penjualan rampung, beberapa teman kampus yang pernah duduk di BEM STAIN Ponbtianak, menunjukkan rasa tidak senangnya terhadap pemberitan kami.
”Wah-wah kitak ni. Mbar, mauk kenak serang ke ape? Buat tulisan macam tu”, kata bang Khairu Amru, saat aku dan teman-teman LPM makan di kantin. Bang Sugeng yang ada dibelakangnya memilih diam.
”Nyantai bang. Tak ade maksod ape-ape kamek ni”, kata Dian menyela pembicaraan Khairu Amru.
”Kitak ni sekarang macam silet pulak ye. Mengupas secara tajam, setajam silet”, kata Amru meniru jargon salah satu acara di stasiun telivisi.
”Ape pulak begituk bang?”. Kali ini Yanti yang angkat bicara.
Setelah proses makan selesai, aku dan teman-temanku mebicarakan reaksi yang kami dapatkan hari itu. Akhirnya, dengan kesepakatan pengurus LPM plus kesepakatan UKM dan tiga HMJ, akmi mengadakan diskusi KBM, Sabtu 2 Mei lalu. Kami menghadirkan MPM dan BEM sebagai pembicara. LPM menjadi fasilitator.
Sayang sekali aku tak bisa mengikuti jalannya diskusi. Aku harus kuliah. Dari beberapa cerita yang kudapatkan dari beberapa teman, disukusi yang dipandu oleh Hardianti itu berlangsung lancar.
Ditengah-tengah proses berjalannya diskusi, suasana sempat memanas. Tapi akhirnya suasana bisa dikendalikan dan diskusi beakhir damai dan tertib. Tak ada lagi ganjalan yang ada. Aku dan teman-teman LPM pun tak lagi khawatir dengan kondisi yang tercipta dari pemberitan kami. Karena UKM dan HMJ sempat memanas saat mendapati fakta yang kami sajikan.
Semuanya berakhir dengan indah. Aku dan teman-teman bisa tersenyum lega. Walaupun ada rasa khawatir akan kehilangan kebersamaan yang telah tercipta antara seluruh pengurus LPM periode ini.

Jumat, 01 Mei 2009

Kacang Hijau Setengah Matang


Oleh : Ambaryani


“Kak, udah masak ke kacang hijaunya? Udah kakak tegok”, tanya Erika padaku sambil berdiri.
”Belum Rika. Tadi udah kakak tengok. Bentar lagi mungkin masak”, jawabku.
Rika yang tadinya sudah berdiri untuk menghampiri dapur umum kami, kembali duduk.
Aktifitas panitia dan anggota baru LPM masih terus berlanjut. Mereka masih sesi evaluasi kegiatan selama 2 hari.
Erika adik tingkatku. Dia bergabung dalam satu organisasi yang sama denganku. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak.
Saat itu kami sedang berada di atas bukit Rill yang disekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar berdiameter 30 hingga 60 cm. Bukit itu tidak begitu lebar. Kurang lebih hanya 10x10 meter saja. Kawasan bukit Rill terletak di hampir ujung gang Panaca Bakti, Siantan-Pontianak. Sebenarnya, bukit itu tidak berada di penghujung gang. Setelah belokan melewati hampir 4 kilo meter perjalanan, masih ada jalan setapak yang sulit dijagkau oleh kendaraan bermotor.
Kami di sana untuk melaksanakan agenda pengukuhan anggota baru LPM. Kegiatan itu berlangsung 25 hingga 26 April 2009. Aku, Erika, Hanisa Agustin dan dibantu teman-teman yang lain menyiapkan sarapan untuk peserta dan panitia selama 2 hari kegiatan. Entah apa alasan, kawan-kawan memposisikanku sebagai bagian logistik. Yang pasti selama 2 hari, bagian logistik merupakan tanggung jawab ku. Walaupun setelah berada di lapangan teman-temanku banyak membantu.
Hingga pagi itu, aku yang bertanggung jawab menangani sarapan pagi teman-temanku. Aku yang dibantu Erika, mulai memasak. Menu pagi itu, adalah bubur kacang hijau.
”Rika, cemane ni ngidopkan gas nye?”. Aku mulai panik saat salah satu kompor gas kami tidak mau menyala.
”Mang kenapa ka?”, tanya Rika.
”Entahlah”, jawabku singkat sambil mencoba kompor yang satunya.
”Tak, tek. Tak, tek”, berkali-kali aku mencoba menghidupkan kompor. Tapi tetap saja tidak berhasil. Awalnya, aku tak tahu apa masalah kompor itu. Aku cuek saja.
Aku beralih ke kompor yang satunya. Hanya 3 kali mencoba, kompor itu sudah menyala sempurna. Dandang besar yang sudah ku siapkan segera ku letakkan diatas kompor.
Aku kembali bergabung bersama panitia dan peserta. Sambil sesekali menuju dapur,mengecek kondisi kacang hijau yang kumasak. Rika, Lilis dan Syahbudinpun sesekali mengeceknya.
Setelah sesi evaluasi selesai, kami memegang peranan masing-masing. Teman-temanku yang lainnya merobohkan tenda dan membersihkan ligkungan. Aku, Erika dan Syahbudin menuju dapur.
Belum aku sampai di dapur, Erika mengejutkanku.
”Ka, apinya mati”, kataya sertengah berteriak.
”Udah, jangan-jangan habis gas”, kata kak Dian pemilik kompor gas tersebut.
”Wah, kalau habis gas, cantek cerita. Kacang hijau belum masak”, gumamku dalam hati.
Setelah diperiksa, ternyata benar. Gas habis. Kacang hijau belum begitu matang. Masih keras. Dalam sitilah melayu, ”kacangnye maseh celek”. Kacangnya baru pecah menjadi dua. Belum terlalu masak.
”Udahlah Rika. Kite kasik jak susu same gulenye, walaupun kacangnye maseh keras, tapi nyaman gak rase kuahnye”, kataku mempermudah keadaan.
”Tapi masih belum terlalu matang ka”, bantah Rika.
”Lalu, anak-anak nak di kasi makan apa? Nak masak indomi gas dah tak ade”, kataku.
”Iya ya ka?”, jawab Rika heran.
Mungkin Rika heran dengan keputusanku, yang kemudian tangsung memasukkan susu ke dalam dandang yang berisi rebusan kacang hijau. Syahbudin emmbantu kami saat itu.
Erikapun langsung membuka kantong gula merah dan mengirisnya, lalu di masukkan dalam dandang.
Saat semuanya sudah beres, kami sarapan. Aku dan 21 teman-temanku anggota LPM duduk diatas tikar plasti berwarna biru. Piring dan mangkok peserta mulai ku isi dengan kacang hijaunya.
”Kawan-kawan, harap maklom ye kalau sarapannya tidak memuaskan. Karena gas habis, jadi kacagnya masih keras”, kataku dihadapan peserta dan panitia dengan rasa bersalah.
”Mbak-mbak. Dikasik kacang ijau maseh keras anak orang tu. Mang lah die ni?”, kata Yanti protes.
”Cemane gak? Gas habes. Harap maklom lah”, jawabku. Teman-temanku tertawa melihat kondisi itu. Akhirnya, peserta dan panitia sarapan dengan menu kacang hijau setengah matang.
Mengenai gas, teman-teman ku dari UKM Racana STAIN sempat meledek. “Baru ini tengok orang kemah pake kompor gas”. Kami, hanya tertawa mendengar ledekan itu.

Sebuah tantangan di lapangan

Oleh : Ambaryani

Aroma khas pemilu masih merebak dimana-mana. Masih kurang lebih dua bulan mendatang negeri ini masih akan terus sibuk dengan aktifitas politik. Bahkan jauh-jauh hari sebelum saat pemilu tiba, banyak aktifitas yang menuju ke arah itu. Banyak lembaga survei yang tak ingin ketinggalan memprediksi siapa yang akan didaulat maju pada perhelatan akbar negeri ini. Lembaga survei politik nasional Center For Indonesian Regionla and Urban Studies (CIRUS) misalnya. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan Oktober 2008 penulis yang ditemani satu teman, bergabung didalamnya. Setelah beberapa bulan sebelum bergabung dalam lembaga survei politik lain.
Sebenarnya sesuai jadwal formal, survei itu harusnya dilaksanakan pada bulan November. Tapi karena terbentur beberapa hal, maka bulan Oktober, tepatnya usai Idul Fitri baru bisa dilaksanakan. Dua kali tergabung dalam lembaga survei politik nasional CIRUS, menjadi suatu pengalaman yang berbeda. Pada survei sebelumnya, lokasinya adalah di keluarahan Sungai Jawi yang mayoritas etnis Melayu. Begitu juga dengan survei yang kedua, dan ketiga. Pada survei ke empat dan ketiga, lokasinya adalah Darat Skip dan Benua Melayu Laut.
Sebelum langsung menuju ke lapangan, penulis menghimpun informasi awal mengenai lokasi tersebut. Dari beberapa kawan, penulis mendapatkan informasi jika kedua lokais tersebut mayoritas penduduknya adalah etnis Cina. Penulis sempat berniat mengundurkan diri.
Begitu mendengar mayoritas penduduknya Cina, yang terlintas dalam benak penulis adalah pasti survei ini akan lama dan begitu banyak kendala. Penulis merasa harus maju atau mundur. Isu etnisitas bermain di sini, dan berpengaruh pada kesiapan penulis. Banyak orang beranggapan, memiliki strotipe etnis Cina adalah salah satu etnis yang memiliki tingkat apatis yang tinggi terhadap perkembangan dunia politik.
Isu ini juga dikaitkan dengan tipologi etnis Cina yang pekerja keras, memiliki etos kerja yang tinggi dalam perbisnisan dan sektor ekonomi. Dan hal itulah yang sering menjadi landasan munculnya trotipe itu. ”Pembisnis jarang yang mau peduli terhadap hal politik”.
Tapi, mau tidak mau tugas ini harus dijalankan dan penulis tuntaskan. Tahap awal survei adalah mencari data penduduk melalui kelurahan di wilayah yang telah di tentukan. Dari data yang penulis dapatkan, ternyata benar. Banyak penduduknya etnis Cina. Semangat berkuran dan melemah kembali. Lagi-lagi, penulis meyakinkan diri, ini sudah terlanjur basah.
Proses-proses selanjutnya berjalan. Pengambilan data tingkat RT dan seterusnya. Hingga kami mendapatkan sebagian dari sampel yang harus kami wawancarai untuk kepentingan survei tersebut sebanyak 10 orang adalah etnis Cina.
Strotipe-strotipe atau penilaian-penilaian awal masih sangat lekat. Dan ketika berhadapan langsung dengan kondisi rill dilanpangan, hal itu terbantahkan. Walaupun ada beberapa yang benar. Dalam prosedur survei, surveyor harus mengunjungi hingga 3 kali jika sampel yang didapatkan tidak bisa dijumpai dalam kunjungan pertama dan kedua. Penulis pun mengikuti prosedur tersebut.
Saat penulis mendapatkan sampel dari etnis Cina, penulis 3 kali menyambangi rumah tersebut. Kunjungan pertama, yang ada dirumah hanyalah sitrinya. Sedangkan sesuai prosedur dan cara yang telah ditentukan, yang harus diwawancarai adalah kepala keluarga. Sang istri menyarankan datang pada sore harinya. Sore harinya penulis datang kembali, hasilnya nihil. Pintu rumah terbuka lebar. Tapi saat pagar yang terbuat dari kayu setinggi 2 meter tertutup rapat. Penulis tidak langsung masuk dan mengetuk-ngetuk pintu pagar. Lebih dari 5 menit penulis menuggu. Tapi tak ada hasil. Pada kunjungan yang ke tiga, lagi-lagi orang yang sebenranya menjadi sampel tidak ada di tempat. Jika hal tersebut terjadi alternatifnya adalah, orang yang usianya istrinya atau orang yang usianya lebih muda dari sampel pertama. Dan prosedurnya memang begitu. Tak bisa sembarangan memilih sampel.
Tapi, yang penulis dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Kami harus pergi tanpa hasil. Ibu itu menolak ketika hendak penulis wawancarai, dengan alasan tidak mengetahui dan tidak mau mengenai hal politik. Kecewa, plus kesal rasanya. Tapi semua itu sudah menjadi konsekwensi saat penulis menyangupinya.
Hal serupa terjadi lagi. Kesulitan itu terulang kembali, dan bukan pada keluarga etnis Cina. Tapi etnis Melayu. Penulis mendapatkan bantahan dari strotipe yang terbangun dalam pikiran penulis. Tidak hanya etnis Cina yang apatis terhadapa dunia politik. Etnis lain juga begitu.
Hal itu juga ternbantahkan saat penulis melaksanakan survei di kawasan Darat Skip. Salah satu lokasi yang terpilih adalah kawasan pasar kapuas Indah dan pasar Tengah. Bisa di bayangkan, bagaimana survei bisa berjalan lancar jika sampelnya komunitas pedagang, pengusaha yang sibuk dan tidak memiliki banyak waktu. Lagi-lagi, nyali penulis ciut.
Awal pencarian rumah RT terhambat. Sulit sekali mendeteksinya. Karena kebanyakan rumah-rumah dikawasan pasar, tertutup ruko atau toko. Hingga kami mendapatkan ketua RT nya yang juga etnis Cina. Sambutanya cukup hangat. Tidak ada raut penolakan, walaupun nampak ada keraguan di detik-detik awal kedatangan penulis. Tapi setelah penulis jelaskan apa maksud kedatangan penulis, semuanya berjalan lancar. Data kami dapatkan, bahan penulis mendapatkan gambaran lokasi sampel yang akan penulis datangi. Penulis sanggta lega saat itu.
Perjalanan belum berakhir. Kedua sampel yang kami dapatkan dari RT tersebut adalah pengusaha. Masing-maisng memiliki toko yang cukup besar di kawasan Kapuas Indah. Saat kami datang, terjadi penolakan lantaran orang-orang yang peneliti datangi belum tahu tujuan kami datang. Entah apa sebabnya. Tapi satu jawaban yang penulis dapatkan adalah, mereka mengira jika penulis adalah sales atau orang-orang yang meminta sumbagan seperti yang sedang merebak saat ini. Banyak orang yang kurang nyaman jika orang yang dengan tujuan itu datang menghampiri.
Penulis memaklumi hal tersebut. Mungkin saja penilaian itu muncul lantaran penulis datang dengan book note kecil dan pulpen ditangan. Kedua alat tulis itu tidak pernah penulis lepaskan dari tangan. Karena penulis harus mencatat nama gang, no rumah dan nama sampel yang harus penulis datangi. Setelah maksud kedatangan penulis jelas saat itu, lagi-lagi penulis menapatkan sambutan yang cukup baik.
Begitu banyak hal yang kadang mempengharuhi cara pandang dan pola pikir kita dalam sehari-hari. Terkadang, fakta-fakta yang ada, pendapat-pendapat orang-orang disekitar, perlu didengar dan dijadikan bahan pertimbangan. Akan tetapi jika hanya mengamati dari jauh, tanpa membuktikannya dan terlebih jika tidak ada data rill mengenai suatu hal atau pendapat, kadang juga sering menimbulkan keleiruan. Halitulah yang pernah terjadi pada penulis.
Tapi setelah melakukan observasi langsung dan mendapatkan data itu sendiri, penilaian-penilaian dan pola pikir mengenai suatu hal akan lebih luas dan tidak bisa sekali pandang, sekali dengar langsung mendapatkan sesuatu yang benar.

Minggu, 22 Maret 2009

Dia

Langkahnya tertatih. Kakinya tak bisa melangkah sempurna. Kakinya mengesek tanah ketika dia memaksa kakinya untuk berjalan. Sebelah kakinya yang beralas sandal jepit, dengan kain yang membungkus kakinya terseret setiap kali kaki itu menapaki jalan semen depan rumahku. Kaki kirinya selalu berbalut kain. Entah apa sebabnya.
Badanya condong mengikuiti tongkat yang menopang badannya. Sebuah tongkat terbuat dari besi yang memiliki cabang empat pada bagian bawahnya yang membantunya untuk bisa berjalan. Ketika kakinya ia paksa melangkah, badanya agak bergoyang (bergetar).
Laki-laki itu sudah tua. Mungkin aku akan memangilnya kakek jika aku bertemu langsung dan harus menyapanya. Matanya sudah tidak bisa melihat dengan sempurna. Dia harus menggunakan kaca mata setiap kali berjalan. Dia juga selalu mengenakan topi. Sebagian rambut yang tidak tertutup topi, sudah memutih.
Entah apa yang terjadi padaya sehingga membuatnya kesulitan untuk berjalan. Aku tak pernah bertemu langsung dengannya. Aku tak pernah berbicara langsung denganya. Aku hanya mengamatinya dari jauh.
Aku mengamatinya setiap pagi, sekitar pukul 07.00 sejak satu minggu terakhir. Saat aku berdiri di depan jendela kamarku, aku mendapatinya sedang berjalan. Lebih tepatnya belajar berjalan. Dari kamar lantai dua ini, aku bisa dengan leluasa memperhatikannya. Kadang aku khawatir melihat kondisinya yang gontai.
Dia rutin berjalan di pagi dan sore hari selama 15 hingga 30 menit dalam sehari. Tak ada seorangpun yang membantunya untuk belajar berjalan. Dia berjalan sendiri dengan tongkatnya. Dia berjalan bolak-balik di dalam gang selama 30 menit. Dia rutin melakukannya.
”Eka tahu ke bapak-bapak yang udah tua tu, yang bejalan-jalan pake tongkat”, kataku pada teman kosku.
”Yang mana? Aku tak tahu”, tanya Eka sambil mengernyitkan keningnya.
”Itu be Ka bapak-bapak yang suka jalan di gang kita tiap pagi dan sore”. Aku menjelaskan pada Eka.
”O ya...aku tahu”, jawabnya.
”Dia sakit apa ya ka? Kenak struk atau cuma kakinya yang sakit? Soalnya kaki sebelah kirinya di bungkus kain terus”.
”O...yang kakinya dibungkus itu?”, tanya Eka yang saat itu sedang duduk diteras.
”He’e ka”.
”Aku tahu orangnya. Tapi tak tau dia sakit apa”.
”O...ya udahlah”. Aku meninggalkan Eka duduk sendiri diteras dan masuk ke dalam kamarku.
Teman-teman kosku tak ada yang memperhatikannya. Padahal aku sering melihatnya. Bahkan hampir setiap hari aku melihatnya.
Pagi ini 21 Maret 2009 aku melihatnya kembali dengan celana selutut berwarna biru. Topi hitam dan baju kemeja lengan pendek cream kotak-kotak. Tangannya memegang tongkat itu dengan erat. Ada handuk kecil berwaerna putih yang dijadikannya alas untuk memegang tongkat. Pagi ini ia hanya berjalan 15 menit.
Pernah suatu hari, aku memperhatikannya kembali. Dia berjalan saat matahari sudah redup. Sore hari. Saat dia sedang berjalan. Rintik hujan mulai turun. Dia nampak ingin berjalan secepat mungkin agar badanya tidak basah diguyur hujan. Tapi dia tak bisa. Kakinya tak bisa dilangkahkan dengan cepat.
Dia terus berjalan. Bajunya sudah mulai basah. Semakin lama hujan semakin lebat. Tapi aku tak bisa melihanyan ketika hujan mulai lebat. Aku tak bisa melihatnya lagi saat dia berjalan dan ada pepohonan yang menghalangi pandangan mataku.
Diam-diam aku mengagumi kerja kerasnya. Hampir setiap hari dia belajar berjalan. Tapi, langkahnya masih saja seperti hari-hari biasanya, masih lamban, tertatih-tatih. Aku terus mengamatinya. Berharap bisa menemukan perubahan yang berarti padanya. Perubahan pada gerak langkahnya. Perubahan pada kondisi kakinya.
Hingga suatu hari nanti aku bisa menemuinya. Menanyakan apa yang terjadi padanya. Menanyakan mengapa tak ada seorangpun yang membantunya belajar berjalan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kembali melihatnya dan ia sudah bisa berjalan sempurna. Semoga....